GAYA KEPEMIMPINAN
(LEADERSHIP STYLES)
Michael H. Hart – dalam bukunya yang berjudul
“100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia” – menempatkan Rasulullah
Muhammad SAW sebagai tokoh nomor 1 yang paling berpengaruh di dunia? Apa saja
yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW sehingga ia layak dinobatkan
sebagai tokoh nomor 1 di dunia yang paling berpengaruh?
Berikut, sebagian dari prestasi yang telah dicapai
Rasulullah Muhammad SAW yang saya kutip dari kata pengantar buku
“The Art of Leadership” :
“Dalam waktu yang sangat singkat 23 tahun (Periode Makkah
selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10 tahun), beliau sukses mengubah
masyarakat jahiliyah menjadi sosok-sosok yang cerdas secara spiritual, dari
masyarakat paganisme yang primitif menjadi komunitas bertauhid yang madani.
Dari masyarakat yang berperangai kasar menjadi masyarakat yang santun. Dari
masyarakat yang tidak dikenal oleh peradaban menjadi umat yang memimpin
peradaban. Dari masyarakat yang disebut asyaddu kufran wa nifafan menjadi kuntum
khaira ummatin.” (DR. Muhammad Fathi, “The Art of Leadership in Islam”, 2009 :
7)
Apa rahasia di balik sukses itu? Masih dibuku yang sama,
jawabannya adalah gaya kepemimpinan (garis miring dan cetak tebal
dari penulis) Rasulullah Muhammad SAW. Bagaimana gaya kepemimpinan Rasulullah
Muhammad SAW?
Masih di buku yang sama dijelaskan bahwa, gaya kepemimpinan
Rasulullah Muhammad SAW ditandai oleh 3 hal. Pertama, beliau bisa cocok dengan
semua pribadi. Kedua, beliau sangat memahami potensi-potensi pribadi bawahannya
(baca : sahabatnya); dan ketiga, keteladanan beliau. Keteladanan adalah
kesatuan ucapan dan perbuatan. Perbuatan adalah perintah yang lebih kuat dari
hanya sekedar kata-kata (DR. Muhammad Fathi, “The Art of Leadership in Islam”,
2009, hlm. 8-9)
Dalam literatur dan teori kepemimpinan, gaya kepemimpinan
Rasulullah Muhammad SAW disebut Situational Leadership (teori ini
digagas oleh Paul R. Hersey dan Ken Blanchard). Definisi dari Situational
Leadershipadalah “a leadership contingency theory that focuses on
followers’ maturity / readiness”. Inti dari teori Situational Leadership adalah
bahwa, gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan berbeda-beda, tergantung
dari tingkat kesiapan para pengikutnya.
Teori kepemimpinan situasional atau the situational
leadership theory adalah teori kepemimpinan yang dikembangkan
oleh Paul Hersey, penulis buku Situational Leader. Dan Ken
Blanchard, pakar dan penulis The Minute Manager, yang kemudian menulis
pula buku Management of Organizational Behavior(skarang sudah terbit dalam
edisi yang ke-9).
Situational Leadership Model by Paul Hersey and Ken
Blanchard
Teori ini pada awalnya diintrodusir sebagai “Life Cycle
Theory of Leadership”. Sampai kemudian pada pertengahan 1970an “Life Cycle
Theory of Leadership” berganti dengan sebutan “Situational Leadership Theory“.
Di akhir 1970an dan awal 1980an, masing-masing penulis mengembangkan teori
kepemimpinannya sendiri-sendiri. Hersey – mengembangkan Situational
Leadership Model dan Blancard – mengembangkan Situational Leadership
Model II.
Definisi kepemimpinan situasional adalah “a leadership
contingency theory that focuses on followers readiness/maturity”. Inti dari
teori kepemimpinan situational adalah bahwa gaya kepemimpinan seorang pemimpin
akan berbeda-beda, tergantung dari tingkat kesiapan para pengikutnya.
Pemahaman fundamen dari teori kepemimpinan situasional
adalah tentang tidak adanya gaya kepemimpinan yang terbaik. Kepemimpinan yang
efektif adalah bergantung pada relevansi tugas, dan hampir semua pemimpin yang
sukses selalu mengadaptasi gaya kepemimpinan yang tepat.
Efektivitas kepemimpinan bukan hanya soal pengaruh terhadap
individu dan kelompok tapi bergantung pula terhadap tugas, pekerjaan atau
fungsi yang dibutuhkan secara keseluruhan. Jadi pendekatan
kepemimpinan situasional fokus pada fenomena kepemimpinan di dalam suatu situasi
yang unik.
Dari cara pandang ini, seorang pemimpin agar efektif ia
harus mampu menyesuaikan gayanya terhadap tuntutan situasi yang berubah-ubah.
Teori kepemimpinan situasional bertumpu pada dua konsep fundamental
yaitu: tingkat kesiapan/kematangan individu atau kelompok sebagai
pengikut dan gaya kepemimpinan.
4 Tingkat Kesiapan Pengikut (Follower
Readiness)
Gaya kepemimpinan yang tepat bergantung pula oleh
kesiapan/kematangan individu atau kelompok sebagai pengikut. Teori kepemimpinan
situasional dari Hersey dan Blanchard mengidentifikasi empat level kesiapan
pengikut dalam notasi R1 hingga R4. Tingkat kesiapan/kematangan pengikut
ditandai oleh dua karakteristik sebagaHKGKGKGKYOPOUi berikut: (i.) the ability
and willingness for directing their own behavior; dan (ii.) the extent to
which people have and willingness to accomplish a specific task. Berdasarkan
kriteria mampu dan mau, maka diperoleh empat tingkat kesiapan/kematangan para
pengikut sebagai berikut:
Follower Readiness matrix
R1: Readiness 1 —
Kesiapan tingkat 1 menunjukkan bahwa pengikut tidak mampu dan tidak mau
mengambil tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Pada tingkat ini,
pengikut tidak memiliki kompetensi dan tidak percaya diri (dikatakan Ken
Blanchard sebagai “The honeymoon is over“).
R2: Readiness 2 —
Menunjukkan pengikut tidak mampu melakukan suatu tugas, tetapi ia sudah
memiliki kemauan. Motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan
keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas.
R3: Readiness 3 —
Menunjukkan situasi di mana pengikut memiliki pengetahuan dan keterampilan
kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi pengikut tidak mau
melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpinnya.
R4: Readiness 4 —
Menunjukkan bahwa pengikut telah memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja
yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan kemauan yang
kuat untuk melaksanakannya.
4 Gaya Kepemimpinan (Leadership
Styles)
Tingkat kesiapan/kematangan individu atau kelompok yang
berbeda menuntut gaya kepemimpinan yang berbeda pula. Hersey dan Blanchard
memilah gaya kepemimpinan dalam perilaku
kerja dan perilaku hubungan yang harus
diterapkan terhadap pengikut dengan derajat kesiapan/kematangan tertentu.
Perilaku Kerja meliputi penggunaan komunikasi satu-arah,
pendiktean tugas, dan pemberitahuan pada pengikut seputar hal apa saja yang
harus mereka lakukan, kapan, dan bagaimana melakukannya. Pemimpin yang efektif
menggunakan tingkat perilaku kerja yang tinggi di sejumlah situasi dan hanya
sekedarnya di situasi lain.
Perilaku hubungan meliputi penggunaan komunikasi dua-arah,
mendengar, memotivasi, melibatkan pengikut dalam proses pengambilan keputusan,
serta memberikan dukungan emosional pada mereka. Perilaku hubungan juga
diberlakukan secara berbeda di aneka situasi.
Kategori dari keseluruhan gaya kepemimpinan diatas
diidentifikasi mereka dalam 4 notasi yaitu S1 sampai S4 yang merupakan
kombinasi dari dua perilaku diatas:
Situational
Leadership Model by Paul Hersey and Ken Blanchard
S1: Telling (Pemberitahu)
— Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut rendah (R1). Ini menekankan perilaku tugas tinggi dan perilaku hubungan
yang terbatas. Gaya kepemimpinan telling (kadang-kadang disebut directing)
adalah karakteristik gaya kepemimpinan dengan komunikasi satu arah. Pemimpin
memberitahu individu atau kelompok soal apa, bagaimana, mengapa, kapan dan
dimana sebuah pekerjaan dilaksanakan. Pemimpin selalu memberikan instruksi yang
jelas, arahan yang rinci, serta mengawasi pekerjaan secara langsung.
Telling
CIRI-CIRI:
1. Komunikasi satu arah
2. Peranan dan tugas ditetapkan secara spesifik
3. Pelaksanaan tugas diawasi ketat
4. Pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dilakukan pimpinan
CIRI-CIRI:
1. Komunikasi satu arah
2. Peranan dan tugas ditetapkan secara spesifik
3. Pelaksanaan tugas diawasi ketat
4. Pemecahan masalah dan pembuatan keputusan dilakukan pimpinan
S2: Selling (Penjual)
— Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut moderat (R2). Ini menekankan pada jumlah tugas dan perilaku hubungan yang
tinggi. Pada tahapan gaya kepemimpinan ini seorang pemimpin masih memberi
arahan namun ia menggunakan komunikasi dua arah dan memberi dukungan secara
emosional terhadap individu atau kelompok guna memotivasi dan rasa percaya diri
pengikut. Gaya ini muncul kala kompetensi individu atau kelompok meningkat,
sehingga pemimpin perlu terus menyediakan sikap membimbing akibat individu atau
kelompok belum siap mengambil tanggung jawab penuh atas proses dalam pekerjaan.
Selling
CIRI-CIRI:
1. Komunikasi dua arah
2. Pembagian tugas ditetapkan pimpinan
3. Pelaksanaan tugas diawasi pimpinan
4. Menjelaskan tugas/keputusan
5. Mendengarkan pendapat, ide, saran pengikut/bawahan
CIRI-CIRI:
1. Komunikasi dua arah
2. Pembagian tugas ditetapkan pimpinan
3. Pelaksanaan tugas diawasi pimpinan
4. Menjelaskan tugas/keputusan
5. Mendengarkan pendapat, ide, saran pengikut/bawahan
S3: Participating (Partisipatif)
— Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi dengan motivasi moderat (R3). Ini menekankan pada jumlah tinggi
perilaku hubungan tetapi jumlah perilaku tugas rendah. Gaya kepemimpinan pada
tahap ini mendorong individu atau kelompok untuk saling berbagi gagasan dan
sekaligus memfasilitasi pekerjaan dengan semangat yang mereka tunjukkan. Gaya
ini muncul tatkala pengikut merasa percaya diri dalam melakukan pekerjaannya
sehingga pemimpin tidak lagi terlalu bersikap sebagai pengarah. Pemimpin tetap
memelihara komunikasi terbuka, tetapi kini melakukannya dengan cenderung untuk
lebih menjadi pendengar yang baik serta siap membantu pengikutnya. Tugas
seorang pemimpin adalah memelihara kualitas hubungan antar individu atau
kelompok.
Participating
CIRI-CIRI:
1. Komunikasi dua arah; pemimpin banyak mendengarkan
2. Saling bertukar ide dalam pemecahan masalah & pengambilan keputusan
3. Keputusan dibuat bersama dengan pengikut/bawahan
4. Mendukung dan menyokong usaha-usaha yang dilakukan pengikut/bawahan
CIRI-CIRI:
1. Komunikasi dua arah; pemimpin banyak mendengarkan
2. Saling bertukar ide dalam pemecahan masalah & pengambilan keputusan
3. Keputusan dibuat bersama dengan pengikut/bawahan
4. Mendukung dan menyokong usaha-usaha yang dilakukan pengikut/bawahan
S4: Delegating (Pendelegasian)
— Gaya ini paling tepat untuk kesiapan pengikut tinggi (R4). Ini menekankan pada kedua sisi yaitu tingginya perilaku kerja
dan perilaku hubungan dimana gaya kepemimpinan pada tahap ini cenderung mengalihkan
tanggung jawab atas proses pembuatan keputusan dan pelaksanaannya. Gaya ini
muncul tatkala individu atau kelompok berada pada level kompetensi yang tinggi
sehubungan dengan pekerjaannya. Gaya ini efektif karena pengikut dianggap telah
kompeten dan termotivasi penuh untuk mengambil tanggung jawab atas
pekerjaannya. Tugas seorang pemimpin hanyalah memonitor berlangsungnya sebuah
pekerjaan.
Delegating
CIRI-CIRI:
1. Peran pemimpin merumuskan masalah & saluran informasi
2. Pimpinan mendelegasikan pemecahan masalah & pengambilan keputusan kepada pengikut/bawahan
3. Pengikut/bawahan merencanakan & melaksanakan tugas
4. Pengikut/bawahan mengendalikan pelaksanaan tugas.
CIRI-CIRI:
1. Peran pemimpin merumuskan masalah & saluran informasi
2. Pimpinan mendelegasikan pemecahan masalah & pengambilan keputusan kepada pengikut/bawahan
3. Pengikut/bawahan merencanakan & melaksanakan tugas
4. Pengikut/bawahan mengendalikan pelaksanaan tugas.
Dari keempat notasi diatas, tidak ada yang bisa disebut
teroptimal setiap saat bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang efektif butuh
fleksibitas, dan harus beradaptasi di setiap situasi. Prinsip “One Size Fits
All” tidak berlaku dalam gaya kepemimpinan, terutama menghadapi tingkat
kesiapan bawahan yang berbeda.
Situational Leadership Dalam
Kehidupan Sehari-hari
Disadari atau tidak, situational leadership telah
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara orang tua dengan
anak-anak dan gaya kepemimpinan dalam sebuah keluarga, sengaja atau tidak
sengaja, seringkali didasarkan atas situasional leadership.
Apakah sama gaya kepemimpinan orang tua terhadap anak-anak
di usia berapapun? Tentu tidak. Kepercayaan terhadap anak-anak akan sejalan
dengan tingkat perkembangan psikologis dan sosial anak-anak.
Semakin banyak pengetahuan anak-anak tentang kehidupan
sosial (di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan sosial terdekat), biasanya
ditandai oleh perkembangan kemandirian psikologis dan sosial anak-anak. Karena
itu, semakin beranjak dewasa, kepercayaan orang tua kepada anak-anak akan
semakin meningkat.
Pada saat masih balita sampai dengan lulus SD, gaya kepemimpinan
orang tua adalah directing. Artinya, orang tua bertindak mengajarkan
kepada anak-anak bagaimana melakukan sesuatu, mengantar dan menjemput
anak-anak, dan lain sebagainya. Orang tua lebih banyak memberikan instruksi,
pengawasan, dan cenderung protektif.
Pada saat anak mencapai usia SLTP, gaya kepempinan orang tua
adalah coaching. Instruksi dan pengawasan orang tua masih ketat, tetapi si
anak mulai diajarkan untuk bertindak proaktif dan mampu mandiri untuk
mengerjakan sehari-hari (mandi, membersihkan tempat tidur dan kamar, dan lain
sebagainya). Orang tua masih melakukan antar jemput anak-anak ke sekolah,
tetapi sesekali anak dibolehkan pulang sendiri bersama teman-temannya.
Di jenjang pendidikan SLTA anak-anak mulai belajar mandiri
secara psikologis dan sosial. Gaya kepemimpinan orang tua pun berubah menjadi participating.
Orang tua mulai melatih anak-anak dalam proses pengambilan keputusan. Frekuensi
instruksi sangat sedikit, orang tua lebih banyak melalukan pendampingan.
Kepercayaan kepada anak-anak semakin meningkat. Anak-anak mulai diberikan
tanggung jawab yang lebih besar.
Gaya kepemimpinan delegating diterapkan pada saat
anak-anak sudah kuliah. Instruksi dan pemberian contoh sudah sangat berkurang.
Anak-anak tidak sekedar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi
anak-anak bahkan sudah memiliki tanggung jawab untuk mengambil keputusan
sendiri.
Sebagai pembanding untuk memahami situational leadership
adalah gaya kepemimpinan yang pernah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantoro.
Perkembangan kematangan psikologis dan sosial anak-anak dapat merubah gaya
kepemimpinan anak-anak. Mulai dari ing ngarso sing tulodo, dilanjutkan dengan ing
madya mangun karsa, dan terakhir tut wuri handayani.
Jika di usia balita sampai dengan SLTP orang tua lebih
banyak melalukan ing ngarso sing tulada, maka di usia SLTA orang tua mulai
menerapkan gaya kepimpinan ing madya mangun karsa. Sedangkan pada saat
anak-anak sudah mulai kuliah dan matang secara psikologis dan sosial, orang tua
mulai mengedapankan pendekatan tut wuri handayani.
sumber:
https://yennywisang.wordpress.com/2012/03/27/situational-leadership/
http://ellopedia.blogspot.co.id/2010/09/kepemimpinan-leadership.html
http://perilakuorganisasi.com/teori-kepemimpinan-situasional.html
Komentar
Posting Komentar